Mari
kita simak tulisan yang begitu menyentuh perasaan ini:
Saya
adalah seorang dokter anak tapi saya lebih terobsesi tidak hanya untu membuat
tubuh seorang anak sehat tetapi untuk membantunya mencapai sukses dalam
mengarungi hidupnya. Selama beberapa tahun menghadapi berbagai macam situasi,
saya menemukan banyak anak-anak yang merasa putus asa karena meskipun mereka
bertekad untuk belajar dengan baik tetap saja dianggap mengecewakan guru dan
orangtuanya. Saya menyimpulkan bahwa membantu anak-anak seperti ini juga
menjadi bagian dari tanggungjawab seorang dokter anak.
Anak-anak
yang tak mampu mengoperasikan pikiran mereka sesuai yang diharapkan sangatlah
menderita. Sementara orangtua mereka pun tentu dibuat sulit tidur memikirkan
anaknya yang dikatakan tidak mampu belajar oleh sekolahnya. Guru sering merasa
kesal dan kadang merasa putus asa melihat kemunduran muridnya tanpa bisa mengerti
apa penyebabnya.
Sebagian
anak harus membayar mahal kodrat berpikir yang mereka bawa sejak lahir. Bukan salah
mereka jika memiliki otak yang sulit memahami perintah, seperti mengeja dengan
benar, menulis dengan baik, membaca dengan cepat, mengerjakan secara sistematis
terutama dalam soal hitungan. Ketika dewasa saya melihat sebagian besar dari
mereka banyak yang menjadi sukses namun pada masa sekolah mereka sievaluasi
dengan tanpa belas kasihan. Setelah melihat betapa pedihnya kegagalan di usia dini
itu saya berkomitmen untuk mencurahkan segenap perhatian saya untuk membantu
anak-anak ini, orangtua serta para gurunya. Yang semuanya disebabkan
ketidaktahuan kita tentang system kerja otak yang berbeda-beda yang dimiliki
oleh masing-masing anak.
Sering
kali dalam setiap perjalanan ke rumah saya menangis jika mengingat cerita
anak-anak yang menjalani proses sekolah ssebagai suatu hal yang membuat mereka
merasa tertekan dan terhina. Banyak di antara mereka yang harus menerima label
yang diberikan kepada mereka sebagai anak yang menderita kelainan tetap yang
sering disebut sebagai ADD dan LD. Sementara sebagian lainnya mau tidak mau
dipaksa untuk harus menelan obat-obat penenang, agar mereka bisa lebih tenang. Namun,
ternyata siksaan itu belumlah cukup banyak pelajar yang sungguh-sunggu tertekan
dan mengalami depresi berat akibat masyarakat yang keranjingan untuk melakukan
berbagai tes yang katanya untuk membuat masa depan mereka lebih baik, namun nyatanya
malah lebih banyak membuat mereka menjadi anak yang gagal dan bermasalah.
Saya
tidak ingin berdiam diri untuk membiarkan hal ini berlangsung terus pada ana
kita, dari generasi ke generasi. Saya sunggu terpukul saat saya menerima surat
dari seorang anak yang isinya seperti ini:
Dr. Levis, saya adalah anak tolol yang tidak pernah bisa melakuakan
segalanya dengan baik. Ibu guru saya selalu berteriak-teriak kepada saya. Rasanya
memang benar bahwa saya adalah anak yang paling tolol di kelas, mungkin saya
memang dilahirkan demikian.
Sesungguhnya
tak seorang anak pun boleh merasa seperti ini, saya tidak akan pernah
membuarkan hal ini terjadi dan terjadi lagi pada anak-anak di negeri ini. Apalagi
dengan seluruh hasil pengetahuan dan penelitiab yang banyak saya ketahui saat
ini telah membuktikan bahwa ini semua bukan salah mereka. Ini semua adalah
salah kita yang tidak bisa memahami dan menciptakan system pembelajaran yang
sesuai dengan cara otak mereka bekerja.
Para
orangtua dan guru yang berbahagia, dimana pun Anda berad, mari kita renungkan
tulisan yang begitu menyentuh perasaan ini. Tidakkah kita merasa bahwa selama
ini kita telah banyak bebbuat salah pada anak-anak kita dan anak didik kita?
Salah satu kisah
dalam buku “I Love U, Ayah Bunda.
Kumpulan Kisah Inspirasi Pendidikan dan Parenting
Terbaik Ayah Edy di Radio Smart FM” karya Ayah Edy.